Profil


Sejarah Kelurahan Panjunan

Konon cerita pada zaman dahulu, sebagian besar mata pencaharian warga Desa Panjunan adalah membuat gerabah dari tanah liat (nganjun). Adapun proses pembuatan gerabah adalah tanah liat yang dicampur dengan air kemudian diuleni sampai kalis, dan dianjun menjadi berbagai macam gerabah seperi cobek, kuali, kendi/kendil, kekep, dan jun (tempat air). Setelah adonan tanah liat tercampur merata/kalis dan sudah dibentuk sesuai keinginan, maka langkah selanjutnya yaitu dijemur sampai kering. Setelah kering, baru dibakar dengan susunan meninggi seperti membakar batu bata. Sampai tahun 1970-an masih ada warga yang membuat/memproduksi gerabah tersebut dan dipasarkan sendiri ke pasar tradisional yang ada di Kabupaten Kudus yaitu Mbah Empek, Mbah Radiem, dan Mbah Daliyem. Pekerjaan itu dinamakan penganjun yang berasal dari kata nganjun (tanah liat) sehingga “penganjun” memilik arti “pembuat gerabah dari tanah liat”. Oleh karena banyaknya pengrajin/pembuat gerabah tanah liat di desa ini, maka daerah ini diberi nama Panjunan.

Sejak tahun 1981 nama Desa Panjunan diganti menjadi Kelurahan Panjunan yang terdiri dari Panjunan Kulon, Panjunan Wetan, dan Magersari, dengan luas wilayah 15,92 Ha dan dengan batas sebelah timur Kelurahan Wergu Kulon, sebelah utara Desa Demaan dan Desa Barongan, sebelah barat Kelurahan Sunggingan, sebelah selatan Desa Getas Pejaten dan Desa Ploso. Kelurahan Panjunan direkso (dilindungi) oleh punden Mbah Rogo Sejati, Mbah Pondok, Mbah Payung, Mbah Mangkuyudo, Mbah Mayung, Mbah Punjen, dan Mbah Pangen. Demikian sejarah singkat Kelurahan Panjunan, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus.